Connect with us

Berita

YPI: Wadah Aktivitas Para Korban Terorisme

Published

on

Yayasan Penyintas Indonesia Icon

Bagi kalangan korban serangan terorisme di Indonesia nama Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) barangkali sudah tidak asing lagi. YPI merupakan lembaga yang menaungi seluruh korban serangan terorisme di Indonesia yang baru saja terbentuk pada 11 Januari 2016 lalu.

Lembaga ini dibentuk dari beberapa komunitas korban seperti korban seragan bom di JW Marriott, Kuningan dan korban bom Bali I dan II. Ketiga elemen itu menjadi satu sekarang atas naungan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI).

Kepada gresnews.com yang menemuinya beberapa waktu lalu, Ketua Umum YPI Sucipto Hari Wibowo bercerita soal bagaimana YPI terbentuk. Menurut pria yang akrab disapa Mas Cipto ini, motif terbentuknya YPI adalah adanya kepedulian dan ikatan emosional para korban kasus terorisme.

Para korban ini memandang sesama mereka perlu membantu teman-teman lainnya. Karena selama ini belum ada yayasan atau lembaga yang serius memperhatikan korban. “Mereka merasa kasihan karena mereka pernah mengalaminya akhirnya terbentuk komunikasi akhirnya sepakat mendirikan yayasan penyintas pada 11 Januari 2016,” ungkap Cipto.

Selama ini, aku Cipto, YPI memang belum banyak membantu secara finansial. Mereka hanya melakukan hal-hal kecil saja seperti membantu penanganan saat terjadi peristiwa seperti bom Thamrin beberapa waktu lalu. “Mereka mambantu bom Bali juga seperti menolong teknis dilapangan. Karena untuk korban ini penanganan teknisnya memang enggak jelas. Tidak ada penanganan hal-hal kritis itu hari H terutama,” terang Cipto.

Dia mengaku ketika terjadi ledakan bom, pihak korban selalu seperti terabaikan. Penanganan korban masih belum menjadi perhatian oleh pihak rumah sakit begitupun pihak lainnya. “Penanganannya masih lamban sehingga bagi korban yang menjadi relawan dianggap sudah berpengalaman bagaimana penanganan masa kritis akibat serangan bom,” ujarnya.

Bagi anggota komunitas YPI, membantu tak sekadar saat peristiwa terjadi. Namun lebih jauh, anggota juga saling menguatkan diri dengan acara-acara sederhana. “Kita gabung, kita sharing sebatas silaturahmi dan penguatan saja. Penguatan mental sesama korban,” ungkapnya.

Sebelum meresmikan diri menjadi YPI, para penyintas kasus terorisme ini memang sudah beberapa kali berkumpul untuk melaksanakan kegiatan seperti peringatan 10 tahun tragedi bom Kuningan. “Ini adalah bentuk perjuangan kami sebagai korban radikalisme untuk mewujudkan perdamaian di Indonesia,” Sucipto.

Menurut Sucipto, aksi-aksi damai itu juga bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk turut aktif dalam melawan aksi-aksi radikal seperti terorisme.

Tanggung Jawab Pemerintah Minim

Terkait penanganan para korban terorisme, para aktivis YPI menilai, tanggung jawab pemerintah memang masih minim. Sucipto mengatakan, sejak kejadian bom Marriott, Kuningan, Bali, ratusan korban sama sekali belum pernah mendapat perhatian pemerintah.

Justru sebaliknya, negara lain seperti Australia begitu cekatan membantu korban-korban, baik pengobatan bahkan ada pemberian modal usaha bagi korban. “Enggak ada pembiayaan. Kalau kuningan itu dibantu oleh Kedutaan Australia. Korban JW Marriott dibantu oleh komite Marriot. Bali dibantu sama teman-teman NGO di Bali. Pemerintah sepengetahuan saya tidak ada. Saya masuk rumah sakit itu yang nanggung semua kedutaan Australia,”katanya.

Dia meminta pada pemerintah tidak hanya terfokus pada penyelesaian terorisme yang berkaitan dengan pelaku. Selama ini, mulai dari UU, penanganan perspektifnya bagaimana meneyelesaikan aksi radikal itu, namun di sisi lain mengabaikan nasib korban yang menderita akibay aksi tersebut.

“Minta dipermudah soal kompensasi bagi korban. Selama ini belum ada, meskipun di UU ada. Tapi implementasinya sangat susah karena harus melalui amar putusan pengadilan,” katanya.

Saat ini, YPI juga tak hanya aktif mengampanyekan isu dan dampak terorisme. Upaya lain juga sedang digalang oleh anggota yayasan melalui audiensi dengan lembaga pemerintah. Dia memandang bagaimana UU terorisme mengutamakan pelaku, tapi mereka harus aktif melakukan lobi dan terlibat dalam memberikan masukan pada UU.

“UU terorisme poinnya semuanya untuk pelaku. Masalah kompensasi, rehabilitasi dikasih modal. Korban tidak ada sama sekali,” tukasnya.

Iwan Setiawan, korban bom Kuningan 2004 lalu menyatakan sejauh ini dia belum melihat ada niat pemerintah membantu korban terorisme. Padahal, sebagian korban yang terkena dampak, ada yang tidak bisa melakukan aktivitas seperti sebelum menjadi korban.

Bahkan, banyak korban yang mesti kehilangan pekerjaannya setelah peristiwa naas itu. Namun perhatian pemerintah seperti tutup mata dengan apa yang terjadi.

“Belum. Tapi kita berharap sekali. Kita bukan meminta tetapi minta diperhatikanlah dikasih bantuan walaupun dengan sistem bunga tapi dengan pinjaman lunak untuk usaha. Kalau dulu ada bantua modal dari Australia sekitar Rp10 juta melalui Aisyah (Muhammadiyah) tapi dari pemerintah kita sama sekali belum ada, tapi saya berharap pemerintah juga memperhatikan korban terorisme,” ungkap Iwan saat gresnews.com bertandang ke rumahnya di kawasan Depok, beberapa waktu lalu.

Iwan mengaku prihatin dengan pemerintah. Pada hal, kejadian ini di Indonesia, tapi kenapa justru negara lain seperti Australia yang lebih menunjukkan perhatiannya. “Pada hal kita hidup di Indonesia kejadiannya juga di Indonesia,” keluh Iwan. [TS]

Sumber: Gresnews

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *