Penyintas serangan terorisme tak mendapatkan kompensasi yang maksimal. Padahal kompensasi adalah hak korban yang diamanatkan UU
Entah mengapa gedung Kedutaan Besar Australia lama di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, selalu mengundang perhatian Daisy Nelly. Saban pagi, ia memutar di depan gedung itu ketika diantar sang suami menuju kantornya di Setiabudi One, Jakarta Selatan.
Pada 2004 itu, ia memperhatikan penjagaan kantor Kedubes Negeri Kanguru yang kian ketat dari biasanya. Aparat Brigade Mobil berjaga hingga ke jalur lambat. Waktu itu memang tengah marak terjadinya aksi-aksi terorisme di Indonesia.
Secara kebetulan, perusahaan Daisy, yang bergerak di bidang asuransi, pindah ke sebelah gedung Kedubes Australia, tepatnya di Menara Gracia. Ia pun makin merasakan hal-hal yang tak enak melihat situasi di Kedubes Australia.
“Kasihan itu, ya, kalau dibom itu, ya. Itu pasti tukang bakso, gorengan, itu pasti kena semuanya itu. Brimob-brimob ini pasti kena bom, deh. Hancur, deh, pasti,” kenang Daisy ketika berbicara di kursus singkat Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media pekan lalu, di Jakarta.
Perasaan itu setiap hari menghinggapi Daisy sampai sang suami menganggapnya aneh karena bicara bom terus. Hingga akhirnya, pada 9 September 2004, apa yang dirisaukan Daisy tersebut menjadi kenyataan. Kedubes Australia dibom oleh teroris dari kelompok Jamaah Islamiyah
Daisy pun tak luput dari dampak ledakan bom bunuh diri tersebut. Sekitar pukul 09.45 WIB, Daisy baru tiba di kantor dan langsung menuju ke ruangannya di lantai 7. Dari ruangan Daisy, Kedubes Australia terlihat sangat jelas. Tiba-tiba, buummm!!! Sebuah ledakan bom mobil dari depan Kedubes Australia menghancurkan kaca gedung yang ada di dekat tempat duduknya. Tubuh Daisy yang membelakangi kaca pun terempas ke depan. Seketika ia nyaris hilang kesadaran.
Daisy berjalan sempoyongan menuju tangga darurat dan berebut dengan karyawan lainnya untuk turun. Kakinya yang telanjang menginjak pecahan kaca yang berserakan di lantai. Namun rasa perih akibat beling yang tertancap di telapak kaki itu tak dihiraukan.
Sampai di lobi gedung, suasana penuh sesak. Daisy mengikuti ajakan seseorang untuk melompat keluar. Ia pun nekat melompat dengan telapak kaki penuh pecahan kaca. Daisy akhirnya tak kuat dan terjatuh. Ia digendong oleh seseorang keluar dari gedung dan dibawa ke Rumah Sakit MMC.
Hasil pemeriksaan menunjukkan tulang kakinya retak. Daisy pun masih harus menjalani pengobatan luka yang dideritanya selama dua tahun sejak itu. Pada saat yang sama, perempuan kelahiran Makassar, 10 Desember 1955, itu harus berjuang keluar dari pengalaman traumatik menjadi korban teror.
“Pada 2004, saya nggak bisa nonton tayangan bom di televisi. Saya trauma dengan bunyi-bunyian, sirene. Saya jadi bingung. Kalau ke gedung-gedung, saya tidak bisa sendiri,” katanya.
Daisy mengaku seluruh biaya pengobatannya ditanggung oleh Kedubes Australia. Termasuk rawat inap dua hari di RS MMC. Sedangkan dari pemerintah Indonesia, ia hanya mendapatkan bantuan dana pada saat kejadian melalui Kementerian Kesehatan.
Begitupun dengan Iwan Setiawan, penyintas serangan terorisme bom Kuningan lainnya. Dua hari setelah kejadian, datang utusan pemerintah menyerahkan bantuan pengobatan selama dua minggu. Setelah itu, tidak ada lagi uluran tangan pemerintah yang diterimanya.
Berbeda dengan pemerintah Australia, menurut Iwan, yang memberikan bantuan selama 12 tahun. Tahun ini bantuan tersebut berakhir. Iwan tidak tahu harus bagaimana nantinya, sementara ia harus mengganti mata palsu setiap dua tahun sekali. Mata Iwan yang sebelah kanan mengalami buta permanen karena bom.
“Saya belum tahu apakah akan diperpanjang lagi atau tidak bantuannya,” tutur Iwan.
Minimnya perhatian pemerintah juga dirasakan Sri Hesti, ibu salah satu korban tewas bom di Hotel JW Mariott pada 2003, Rudi Dwi Laksono. Menurut Hesti, pemerintah sama sekali tidak memberikan santunan kepada korban terorisme.
Seingat dia, bantuan hanya datang dari pihak JW Marriott berupa ongkos pemakaman sebesar Rp 5 juta. “Kasih duit buat pemakaman Rp 5 juta. Itu saja pagi itu. (Bantuan dari pemerintah) boro-boro, nggak ada,” ucap Hesti.
Ketua Aliansi Indonesia Damai (Aida), lembaga yang menaruh perhatian terhadap korban terorisme, Hasibullah Sastrawi mengatakan sebenarnya hak-hak korban terorisme sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
UU tersebut menyebutkan korban terorisme mendapatkan kompensasi dari pemerintah. Persoalannya adalah aturan tentang kompensasi itu tidak pernah diimplementasikan dan tidak pernah diberikan kepada korban.
“Aida telah menanyakan kepada sejumlah korban yang masuk di jaringan Aida, baik di Bali maupun di Jakarta. Mereka tidak pernah mendapatkan kompensasi, yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada para korban,” katanya.
Yang mereka terima, menurut Hasibullah, adalah bantuan-bantuan yang sifatnya kemanusiaan. Atau uang kerahiman yang diberikan oleh pejabat saat menjenguk korban.
Kompensasi kepada korban dalam UU Antiterorisme sulit dilaksanakan karena korban yang mendapat kompensasi adalah yang kasus terorismenya sudah diputus pengadilan. Padahal tidak semua kasus terorisme berujung pada pengadilan. Selain itu, kompensasi diberikan oleh negara dengan landasan bahwa pelaku terorisme tidak mampu membayar kerugian kepada korbannya.
Nah, dalam revisi UU yang baru nanti, Aida akan mendorong agar kompensasi tersebut tidak harus didahului putusan pengadilan terhadap kasus pidananya. Kompensasi itu bisa diberikan langsung oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Jadi kompensasi yang kita usulkan bukan berdasarkan tuntutan pidana, tapi karena kegagalan negara memberikan jaminan kepada masyarakat berkaitan dengan keamanannya,” kata dia.
Selain itu, UU hasil revisi itu nantinya diharapkan dapat memberikan aturan yang eksplisit tentang bantuan medis korban pada masa-masa kritis. Berdasarkan pengalaman selama ini, korban tidak langsung mendapat pelayanan rumah sakit bagi yang tidak mampu membayar.
Perkembangan sedikit menggembirakan datang pada 2013 ketika terjadi revisi UU LPSK. Kini, dalam UU tersebut, hak-hak korban sudah mulai diakomodasi, antara lain hak tentang psikososial, medis, dan lain-lain. Namun penerapannya masih terkendala karena LPSK mewajibkan surat keterangan korban.
“Akibatnya apa, baru sekitar 40 korban yang mendapatkan layanan dari LPSK . Padahal, dari total yang masuk dari 300-an itu, banyak yang membutuhkan layanan medis,” katanya.
Iwan mengatakan Yayasan Penyintas Indonesia, yang dibentuk oleh para korban terorisme, belum mampu bersuara apa-apa. Kini yayasan yang berisi sekitar 200 penyintas terorisme itu bergabung dengan Aida agar suara mereka makin kuat.
“Kita minta bantuan kepada rekan-rekan media, buat menyuarakan harapan korban, biar dikawal ini korban mendapatkan hak-haknya. Kan UU Terorisme ada, tinggal di revisi. Nah, kita minta agar itu dikawal biar terselesaikan dengan baik,” ujarnya.
Sumber: DetikX