Connect with us

Berita

Kisah Penyintas, Menolak Menyerah dari Musibah

Published

on

Sucipto Hari Wibowo YPI

Aksi terorisme selalu menimbulkan kerusakan dan korban. Tak satu pun ingin mengalami dampaknya. Namun, jika sudah menjadi garis hidup, siapa pun tidak kuasa untuk mengelaknya.

Pengalaman itu dialami oleh Sucipto Hari Wibowo, seorang pegawai perusahaan swasta di Jakarta. Pada 9 September 2004, ia menjadi korban aksi teror bom di Jalan HR Rasuna Said kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Pagi itu dia sedang berkendara motor untuk mengantar dokumen terkait urusan tempat kerjanya. Sebenarnya, tugas mengantar dokumen itu diamanatkan kepada rekannya, namun koleganya berhalangan. Tidak ada firasat apa pun, sebagai karyawan dia menjaga etika profesionalisme sehingga Sucipto mengambil alih tugas tersebut.

Bersepeda motor pria asal Mojokerto, Jawa Timur itu menyusuri jalanan ibu kota. Saat melewati kawasan Kuningan, tepatnya di seberang Kedutaan Besar Australia, tiba-tiba sebuah ledakan besar terjadi. Meskipun dirinya cukup berjarak dengan titik ledakan, namun kekuatan hentakan menghantamnya sangat keras hingga menyebabkan laju motornya oleng dan terjatuh. Pada saat yang sama sebuah bus kota melaju di belakangnya, membunyikan klakson cukup panjang. Dia mengatakan, bila tidak menghindar beberapa detik saja, bus itu pasti menabraknya.

Sucipto merasakan sakit yang luar biasa di kepala. Jarak pandang sesaat setelah kejadian sangat pendek karena penglihatan tertutup asap putih. Lemas dan tak bisa melihat apa-apa, ia terduduk di trotoar selama beberapa menit. Sambil menahan sakit di kepala bagian belakang dan telinga yang semakin terasa, dia menyaksikan banyak kehancuran. Dia melihat orang-orang dengan berbagai macam luka tak berdaya menanti pertolongan. Dia mendengar beberapa orang berteriak, “Bom.”

Beberapa saat kemudian ia teringat akan tugasnya. Dia pun bergegas untuk bangkit, meraih sepeda motornya. Kopling motornya patah dan tidak berfungsi normal akibat peristiwa itu. Dia memaksakan untuk tetap menaiki motornya. “Pokoknya asal bisa jalan aja. Alhamdulillah bisa nyala dan saya masukkan ke gigi dua. Akhirnya saya pakai gigi dua terus itu sepanjang perjalanan dari Kuningan sampai kantor,” kata dia.

Dengan masih menahan sakit, Sucipto melaporkan perihal tugasnya dan menceritakan kejadian bom kepada atasannya. Ia pun dipersilakan oleh atasan untuk beristirahat di kantor.

Setelah istirahat kurang lebih 3 jam, kepala dan telinganya masih terasa sakit. Ia pun diantar pulang oleh salah satu temannya. Sampai di rumah ia dirawat oleh ibu dan istrinya.

Keesokan harinya, dengan kondisi kepala yang masih terasa sakit, Sucipto memaksakan diri untuk tetap berangkat bekerja. Akan tetapi, ia merasakan ada yang aneh pada telinganya. “Sejak bangun tidur, saat berjalan, itu seperti ada air di telinga saya,” kata dia.

Akhirnya dia memutuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa gendang telinganya mengalami bengkak, dan terdapat beberapa kerusakan dalam jaringan sarafnya. Itulah yang menyebabkannya sering mengalami kram sejak terkena ledakan bom. Kondisi tersebut mewajibkannya untuk menginap di rumah sakit selama satu minggu, dan kemudian dilanjutkan dengan perawatan berjalan selama hampir satu tahun.

Sucipto mengatakan penyembuhan yang lama itu pun tidak cukup membuatnya pulih seperti semula. Beberapa waktu setelah masa rawat jalannya selesai, terkadang ia masih merasakan sakit di kepala, dan harus melakukan pengambilan darah setiap kali penyakit itu kambuh.

Bahkan, pada akhir 2016 -atau 12 tahun lebih setelah Bom Kuningan berlalu- ia mengatakan bahwa sakit kepalanya kadang masih kambuh. Dia merasakan sakit di kepalanya luar biasa hingga nyaris pingsan saat melakukan aktivitas keseharian. Dia menceritakan, sakitnya pernah kambuh saat dirinya sedang menyetir mobil. Seketika dia berhenti di tengah jalan. Bunyi klakson panjang dari beberapa kendaraan pun memprotesnya. Setelah beberapa saat dia baru kuat untuk menahan sakit, lalu menepikan kendaraannya.

Bila sakit di kepalanya kambuh, keesokan harinya dia berobat ke rumah sakit. Ia bersyukur bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menunjukkan perhatian kepadanya selaku penyintas aksi terorisme. Dia mendapatkan buku hijau dari LPSK yang bisa digunakan untuk memeriksakan kesehatannya secara gratis di rumah sakit yang ditunjuk.

Sucipto mengatakan, tragedi Bom Kuningan menyebabkan pendengarannya berkurang, sakit kepala bila berada di ruangan yang pengap, serta trauma ketika harus melewati lokasi kejadian.

Meskipun demikian, ia senantiasa yakin untuk tidak berputus asa. Dia bahkan aktif menggalang persatuan para korban terorisme untuk bersama-sama bangkit dan saling menguatkan. Dia dan sejumlah korban aktif menjadi pengurus Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), organisasi yang mewadahi semua korban terorisme di Tanah Air. [SWD]

Disarikan dari penuturan kisah Sucipto Hari Wibowo dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Palembang awal Juli 2018.

Sumber: Aida.or.id

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *